Stockholm, 18 Oktober 2006

 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

 

 

SAHIH MUSLIM TENTANG PERTANYAAN UMAR BIN KHATTAB RA MENGENAI PERJANJIAN HUDAIBIYAH & USAMA BIN ZAID BIN HARITSA.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

 

 

MASIH MENYOROT SAHIH MUSLIM TENTANG PERTANYAAN UMAR BIN KHATTAB RA MENGANAI PERJANJIAN HUDAIBIYAH DAN USAMA BIN ZAID BIN HARITSA.

 

Ternyata orang-orang yang menganggap bahwa Umar bin Khattab ra melakukan pembangkangan dan makar terhadap Rasulullah saw dalam hal perjanjian Hudaibiyah adalah tidak memiliki pegangan nash yang kuat. Dimana setelah dikupas dari sudut sahih Muslim ternyata tidak ditemukan fakta dan bukti hukum yang menunjukkan bahwa Umar bin Khattab ra melakukan pembangkangan dan makar terhadap Rasulullah saw ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani.

 

Nah, karena orang-orang yang beranggapan bahwa Umar bin Khattab ra melakukan pembangkangan dan makar terhadap Rasulullah saw dalam hal perjanjian Hudaibiyah tidak memiliki pegangan nash yang kuat, maka akhirnya orang-orang ini mengkorek bunyi dari pertanyaan yang diajukan oleh Umar bin Khattab ra kepada Rasulullah saw.

 

Dimana menurut Muslim dalam hadits sahihnya nomor 3338 menulis: “… Wahai Rasulullah, bukankah kita ini di pihak yang benar dan mereka di pihak yang batil?… Bukankah prajurit-prajurit kita yang terbunuh berada di surga dan prajurit-prajurit mereka yang terbunuh berada di neraka?…”

 

Rupanya bentuk pertanyaan yang diajukan oleh Umar bin Khattab ra dianggap oleh orang-orang tersebut sebagai bentuk syak atau rasa kurang percaya atau sangsi atau curiga atau tidak yakin atau  ragu-ragu terhadap Rasulullah saw dan kerasulannya karena penandatanganan perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

 

Nah, disinilah kelemahan orang-orang tersebut. Karena mereka tidak memiliki dasar pegangan nash yang kuat, maka akhirnya untuk mencari alasan atau argumentasi dicarilah alasan-alasan yang lemah ini, seperti alasan dengan memakai pertanyaan Umar bin Khattab ra terhadap Rasulullah saw tentang perjanjian Hudaibiyah yang dihubungkan dengan ke-syakan atau keraguan atau kekurang-percayaan atau kesangsian atau kecurigaan terhadap Rasulullah saw.

 

Bagi orang-orang yang mengerti dan memahami apa yang ditulis oleh Muslim dalam hadits sahihnya tersebut, maka satu titikpun tidak ditemukan adanya kesyakan atau keragu-raguan atau ketidak-yakinan atau ketidak-percayaan dari Umar bin Khattab ra terhadap Rasulullah saw dan kerasulannya. Justru yang menjadi inti pertanyaan Umar bin Khattab ra tersebut adalah ia masih belum sampai pengetahuannya yang menyangkut politik, kenegaraan yang dikaitkan dengan isi perjanjian Hudaibiyah. Karena Rasulullah saw sendiri tidak menjelaskan secara terperinci dimana keuntungannya dan dimana kelemahannya dari butir-butir yang terkandung dalam isi perjanjian Hudaibiyah ini.

 

Nah, dengan tidak adanya penjelasan secara mendetil dari pihak Rasulullah saw tentang isi perjanjian Hudaibiyah tersebut, maka lahirlah dari sebagian pasukan Rasulullah saw termasuk Umar bin Khattab ra sikap yang menunjukkan bahwa pihak Quraisy telah menghina Islam melalui penandatanganan perjanjian Hudaibiyah. 

 

Tetapi, setelah Allah SWT langsung, tidak lama setelah penandatanganan perjanjian Hudaibiyah dilakukan, menurunkan Firman-Nya dalam surat Al-Fath: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata” (Al Fath, QS 48: 1), maka puaslah Umar bin Khattab ra dan pasukan-pasukan yang sebelumnya beranggapan bahwa perjanjian Hudaibiyah tersebut bertujuan menghina Islam, ternyata merupakan jalan menuju kemenangan yang nyata dan Mekkah akan dibebaskan dengan segera.

 

Jadi, disinilah kunci utama dari apa yang ditulis oleh Muslim dalam hadits sahihnya itu yang menyangkut perjanjian Hudaibiyah dihubungkan dengan Umar bin Kahattab ra. Bukan karena adanya kesyakan atau keragu-raguan atau ketidak-yakinan atau ketidak-percayaan dari Umar bin Khattab ra terhadap Rasulullah saw dan kerasulannya. Hanya orang-orang yang membaca sahih Muslim dengan selintas tanpa mempergunakan akal dan pemahaman yang mendalam sajalah yang mengambil kesimpulan bahwa apa yang ditanyakan oleh Umar bin Khattab ra terhadap Rasulullah saw tentang isi perjanjian Hudaibiyah dianggap sebagai adanya kesyakan atau keragu-raguan atau ketidak-yakinan atau ketidak-percayaan dari Umar bin Khattab ra terhadap Rasulullah saw dan kerasulannya.

 

Selanjutnya, menyinggung masalah pengangkatan Usamah bin Zaid sebagai pemimpin pasukan oleh Rasulullah saw di saat-saat hari akhirnya Rasulullah saw. Sebagaimana ditulis oleh Muslim dalam hadits sahihnya:

 

”Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah saw. mengirim satu pasukan tentara lalu mengangkat Usamah bin Zaid sebagai pemimpin mereka. Orang-orang kemudian banyak yang mencela kepemimpinannya. Rasulullah saw. segera bangkit seraya bersabda: Apabila kalian mencela kepemimpinannya berarti kalian juga telah mencela kepemimpinan ayahnya sebelum ini. Demi Allah, dia adalah orang yang berhak memegang kepemimpinan karena orang itu harus sebagai orang yang paling aku cintai dan sesungguhnya orang ini adalah termasuk orang yang paling aku cintai sesudahnya” (Sahih Muslim: 4452)

 

Nah,  pengiriman pasukan dengan mengangkat Usamah bin Zaid bin Haritsa adalah disebabkan Rasulullah saw mendengar berita bahwa dari perbatasan Syiria tentang persiapan Romawi untuk melawan kaum Muslimin. Rasulullah saw meminta kepada Usama bin Zaid bin Haritsa untuk pergi ke perbatasan Balqa’ dan memasuki daerah musuh melalui Palestina dekat Mu’ta tempat  Zaid bin Haritsa, yaitu ayahnya Zaid gugur. Dimana Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra dan Ali bin Abi Thalib ra juga ikut dalam pasukan Usamah bin Zaid bin Haritsa. Tetapi, baru saja pasukan Usamah bin Zaid bin Haritsa sampai di Jurf, satu tempat tidak jauh dari Madinah, samapailah berita bahwa Rasulullah saw telah menghadap Allah SWT. (Majid ‘Ali Khan, Muhammad The Final Messenger, 1980, hal. 256)

 

Dalam kebijaksanaan politik yang menyangkut pengangkatan sesorang dalam Negara Islam pertama di Yatsrib yang dijalankan oleh Rasulullah saw timbul adanya suara setuju dan tidak setuju. Hal ini memang disadari dan sangat dipahami oleh Rasulullah saw. Karena itu, ketika Usamah bin Zaid bin Haritsa diangkat sebagai komandan pasukan untuk menghadapi Romawi timbul suara yang setuju dan tidak setuju. Tetapi, akhirnya dapat diselesaikan dengan melalui jalan kekuasaan yang dimiliki oleh Rasulullah saw sebagai Kepala Negara Islam pertama ini yaitu dengan menyatakan “…Demi Allah, dia adalah orang yang berhak memegang kepemimpinan karena orang itu harus sebagai orang yang paling aku cintai dan sesungguhnya orang ini adalah termasuk orang yang paling aku cintai sesudahnya” (Sahih Muslim: 4452) Boleh dikatakan bahwa hak prerogatif yaitu hak istimewa yang dimiliki oleh Kepala Negara Islam pertama inilah yang dipakai oleh Rasulullah saw sebagai salah satu jalan keluarnya untuk menyelesaikan suara-suara yang setuju dan tidak setuju atas pengangkatan Usamah bin Zaid bin Haritsa.

 

Jadi, adanya suara dari orang-orang yang tidak setuju atas pengangkatan Usamah bin Zaid bin Haritsa adalah tidak menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak setuju dengan pengangkatan tersebut dianggap sebagai orang-orang yang menentang dan membangkang serta berbuat makar terhadap Rasulullah saw dan Negara islam pertama di Yatsrib. Atau orang-orang yang tidak setuju dengan pengangkatan tersebut dianggap sebagai orang-orang yang syak atau ragu-ragu atau tidak yakin atau tidak percaya kepada kerasulan Rasulullah saw. Karena akhirnya, seperti Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra dan Ali bin Abi Thalib ra ikut dalam pasukan Usamah bin Zaid bin Haritsa ini.

 

Hanya, karena Rasulullah saw telah menghadap Allah SWT dimana pasukan Usamah bin Zaid bin Haritsa baru sampai ke Jurf, maka Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra dan Ali bin Abi Thalib ra serta Usamah bin Zaid bin Haritsa kembali ke Madinah.

 

Terakhir, berdasarkan apa yang diuraikan diatas, maka ditemukan jalur lurus bahwa apa yang ditanyakan oleh Umar bin Khattab ra terhadap Rasulullah saw tentang isi perjanjian Hudaibiyah tidak dianggap sebagai adanya kesyakan atau keragu-raguan atau ketidak-yakinan atau ketidak-percayaan dari Umar bin Khattab ra terhadap Rasulullah saw dan kerasulannya. Dan orang-orang yang tidak setuju dengan pengangkatan Usamah bin Zaid bin Haritsa tidak dianggap sebagai orang-orang yang menentang dan membangkang serta berbuat makar terhadap Rasulullah saw dalam Negara Islam pertama atau orang-orang yang syak atau ragu-ragu atau tidak yakin atau tidak percaya kepada kerasulan Rasulullah saw.

 

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

 

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

 

Wassalam.

 

Ahmad Sudirman

 

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

----------