Stockholm,
18 Oktober 2006
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum
wr wbr.
MASIH MENGGALI TENTANG UMAR BIN KHATTAB
RA DIHUBUNGKAN DENGAN PERJANJIAN HUDAIBIYAH.
Ahmad Sudirman
Stockholm - SWEDIA.
MASIH
MENYOROT UMAR BIN KHATTAB RA TENTANG PERJANJIAN HUDAIBIYAH DILIHAT DARI SUDUT
SAHIH MUSLIM.
Rupanya
orang-orang yang masih belum mengerti dan belum memahami situasi dan keadaan
pasca penandatanganan perjanjian Hudaibiyah tetap berusaha menampilkan pertanyaan-pertanyaan
Umar bin Khattab ra terhadap Rasulullah saw dalam usaha untuk menggiring Umar
bin Khattab ra kearah syah, keraguan, ketidak-percayaan, ketidak-yakinan kepada
Rasulullah saw dan kerasulannya, juga beruasa membawa kearah kemunafikan.
Nah,
agar supaya kita semua memahami situasi dan keadaan pasca penandatanganan
perjanjian Hudaibiyah ini, perlu kembali dituliskan disini bahwa isi perjanjian
Hudaibiyah ini adalah menyangkut:
1.Kaum
Muslimin tahun ini harus pulang tanpa melaksanakan ibadah umrah.
2.Mereka
boleh datang tahun depan untuk melaksanakan haji, tetapi tidak boleh tinggal di
Mekkah lebih dari tiga hari.
3.Mengunjungi
kota suci tidak boleh membawa senjata, hanya pedang yang boleh dibawa, tetapi
harus tetap disarungnya.
4.Orang
Islam Madinah tidak boleh mengambil kembali orang Islam yang tinggal di Mekkah,
juga tidak boleh menghalangi siapapun dari orang Islam yang ingin tinggal di
Mekkah.
5.Bila
ada orang Mekkah yang ingin tingggal di Madinah, kaum muslimin harus
menyerahkannya kembali kepada mereka, tetapi bila ada orang Islam yang ingin
tinggal di Mekkah, pihak Mekkah tidak harus mengembalikannya ke Madinah.
Suku-suku bangsa di Arab, bebas untuk bersekutu dengan kelompok manapun yang
mereka kehendaki. (Majid ‘Ali Khan, Muhammad The Final Messenger, 1980, hal. 197-198)
Nah bagi orang yang tidak mengerti dan tidak memahami tentang
kebijaksanaan politik dan pemerintahan serta Negara Islam pertama yang dipimpin
oleh Rasulullah saw, maka ketika membaca isi butiran-butiran perjanjian
Hudaibiyah tersebut akan timbul sikap dan tindakan yang negatif atas isi
perjanjian tersebut. Mengapa ? Karena,
isinya memang menghinakan Islam dan
merugikan kaum muslimin.
Nah, sikap yang demikianlah yang
timbul dalam pikiran sebagian pasukan Rasulullah saw termasuk Umar bin Khattab
ra, yang menganggap bahwa isi perjanjian Hudaibiyah adalah menghinakan Islam
dan merugikan kaum muslimin dan Negara Islam pertama.
Sekarang, keadaan dan situasi
yang panas diantara para sahabat dan pasukan Rasulullah saw pasca
penandatanganan perjanjian Hudaibiyah makin menjadi panas situasi dan
keadaannya, ketika tiba-tiba muncul Abu Jundal, putra Suhail bin ‘Amar utusan
Quraisy meminta bergabung dengan
Rasulullah saw (Ibnu Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Jil. II, hal.318) sambil
menunjukkan bekas-bekas luka akibat siksaan yang ditimpakan oleh Quraisy.
Kemudian, Rasulullah saw mencoba mencari perkecualian agar Abu Jundal dapat
diselamatkan, tetapi pihak Suhail bin ‘Amar menolaknya. Lalu Abu Jundal
ditangkap kembali, dipukul dan diseretnya untuk dibawa kembali ke Mekkah. Abu
Jundal berteriak meminta tolong (Ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikhur Rasul wal
Muluk, Jil.II, hal.635), tetapi tidak ada yang berani menolongnya. Bahkan
perasaan para sahabat dan para pasukan Rasulullah saw pada saat itu sangat
tersayat hatinya, tetapi Rasulullah saw tetap berusaha dengan sabar dan tetap
memegang teguh isi perjanjian Hudaibiyah yang baru saja ditandatangani. Bahkan
Rasulullah saw meminta kepada Abu Jundal untuk tetap bersabar, kemudian Abu Jundal
ditahan dan dibawa kembali ke Mekkah. (Majid ‘Ali Khan, Muhammad The Final
Messenger, 1980, hal. 198)
Nah dalam saat-saat situasi dan keadaan yang menyayat hati inilah yang
disaksikan mata langsung oleh Umar Bin Khattab ra yang membuatnya menjadi murung,
lalu berkata kepada Rasulullah saw: “Bukankah engkau benar-benar utusan Allah? Bukankah apa yang kita
miliki sesuatu yang benar?” (Syibli Nu’mani, Siratun Nabi, Jil I, hal.457)
Kemudian Rasulullah saw menjawab dengan tegas dan berkata bahwa ia lakukan
semua ini semata-mata mengikuti petunjuk Allah. (Majid ‘Ali Khan, Muhammad The
Final Messenger, 1980, hal. 198)
Nah ternyata Umar bin Khattab ra ketika melihat situasi dan keadaan yang
menimpa Abu Jundal yang disiksa dan diserert didepan mata Rasulullah saw, para
sahabat dan para pasukan Rasulullah saw, dimana tidak ada seorangpun yang
berani menolongnya, Rasulullah saw sendiri tidak bisa menolongnya, maka disaat
dan dalam keadaan situasi yang demikianlah timbul dorongan dari diri Umar bin
Khattab ra yang ditampilkan dalam pertanyaan “Bukankah engkau benar-benar
utusan Allah? Bukankah apa yang kita miliki sesuatu yang benar?” yang langsung
diarahkan kepada Rasulullah saw. Yang dijawab oleh Rasulullah saw dengan tegas
bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata mengikuti petunjuk Allah SWT.
Sekarang yang dipertanyakan, apakah timbulnya sikap Umar bin Khattab ra
yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan kepada Rasulullah saw tersebut
merupakan sikap yang syak, ragu-ragu, tidak percaya, tidak yakin kepada Rasulullah
saw sebagai rasul? Dan apakah sikap Umar bin
Khattab ra itu merupakan sikap orang munafik?
Nah, untuk menjawabnya adalah
harus ditelaah, diteliti, dianalisa dari apa yang terjadi pada saat situasi dan
keadaan terjadinya pasca penandatanganan perjanjian Hudaibiyah dan ketika Abu
Jundal yang disiksa dan diseret untuk dibawa kembali ke Mekkah. Mengapa
Rasulullah saw tidak mau menolong dan menyelamatkan Abu Jundal yang berteriak
minta tolong dan kesakitan?
Jawabannya adalah Rasulullah saw
tidak mau menghianati perjanjian Hudaibiyah yang baru saja ditandatangani.
Inilah yang tidak dimengerti dan tidak dipahami oleh sebagian pasukan
Rasulullah saw termasuk oleh Umar bin Khattab ra.
Bagaimana jadinya, kalau
Rasulullah saw dengan langsung sambil pedang dihunus siap menyelamatkan Abu
Jundal dari orang-orang Quraisy yang sedang berusaha menyiksanya itu? Maka
konsekuensinya adalah Rasulullah saw secara sadar telah menghianati perjanjian
Hudaibiyah yang basru saja ditandatangani. Mengapa?
Karena, dalam satu butiran yang
tertuang dalam isi perjanjian Hudaibiyah tersebut disepakati bahwa menurut klausul nomor 5 dinyatakan ”Bila ada
orang Mekkah yang ingin tingggal di Madinah, kaum muslimin harus menyerahkannya
kembali kepada mereka, tetapi bila ada orang Islam yang ingin tinggal di
Mekkah, pihak Mekkah tidak harus mengembalikannya ke Madinah.”
Nah, karena Abu Jundal orang
Mekkah yang ingin mendapat perlindungan di Madinah dibawah pemerintah Negara
Islam pertama di Madinah, dan ingin tinggal di Madinah, maka kaum muslimin
harus menyerahkannya kembali kepada mereka.
Inilah klausul dari isi
perjanjian Hudaibiyah yang telah mengikat Rasulullah saw dan seluruh kaum
muslimin. Dan karena klausul inilah Rasulullah saw tidak ingin menghianati
perjanjian Hudaibiyah yang baru saja ditandatangani.
Nah, disinilah perbedaannya
antara Rasulullah saw dan para sahabatnya, termasuk Umar bin Khattab ra. Umar
bin Khattab ra tidak mengerti dan tidak memahami serta tidak menyadari
konsekuensi yang bisa menimpa Rasulullah saw dan kaum muslimin apabila
menghianati perjanjian Hudaibiyah yang baru saja ditandatangani itu.
Jadi, dorongan yang besar dari dalam diri Umar bin Khattab ra yang diluapkan dalam bentuk sikap dan diformulasikan dalam pertanyaan “Bukankah engkau benar-benar utusan Allah?” kehadapan Rasulullah saw adalah bukan diakibatkan oleh adanya rasa munafik dalam diri Umar bin Khattab ra, ataupun rasa syak, ragu-ragu, tidak yakin dan tidak pecaya kepada Rasulullah saw dan kerasulan, melainkan semata akibat oleh dorongan perasaan yang ditimbulkan oleh adanya penyiksaan dan penganiayaan terhadap Abu Jundal, dimana Rasulullah saw tidak berdaya dan tidak mampu untuk menolongnya, karena tidak mau menghianati perjanjian Hudaibiyah yang baru saja ditandatangani.
Keadaan dan situasi inilah yang
tidak dimengerti dan tidak juga dipahami oleh sebagian orang yang membaca
hadist sahih Muslim, sejarah Rasulullah karya Ibnu Jarir ath-Thabari, Syibli
Nu’mani, Majid ‘Ali Khan dan yang lainnya dihubungkan dengan pertanyaan yang
disampaikan oleh Umar bin Khattab ra kehadapan Rasulullah saw, sehingga
disimpulkan bahwa Umar bin Khattab ra telah munafik dan tidak percaya lagi
kepada Rasulullah saw dan kerasulannya.
Terakhir, dengan berdasarkan apa
yang dijelaskan diatas, maka kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa
pertanyaan yang dikemukakan oleh Umar bin Khattab ra “Bukankah engkau
benar-benar utusan Allah?” kehadapan Rasulullah saw adalah bukan karena
kemunafikan atau adanya rasa syak, ragu-ragu, tidak yakin dan tidak pecaya
kepada Rasulullah saw dan kerasulan, melainkan semata akibat oleh dorongan
perasaan yang ditimbulkan oleh adanya penyiksaan dan penganiayaan terhadap Abu
Jundal, dimana Rasulullah saw tidak berdaya dan tidak mampu untuk menolongnya,
karena tidak mau menghianati perjanjian Hudaibiyah yang baru saja
ditandatangani.
Bagi yang ada minat untuk
menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya
sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya
yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang
Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon
pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad
Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se
----------