Stockholm, 12 Mei 1999

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

PENDIRIAN NII ADALAH SYAH BAIK SECARA DE FACTO ATAU DE JURE WALAUPUN ADA PERBEDAAN DENGAN UNDANG UNDANG MADINAH DAULAH ISLAM RASULULLAH DALAM CARA PEMBUATAN HUKUM.
Ahmad Sudirman
Modular Ink Technology Stockholm - SWEDIA.

 

Jawaban untuk saudara Dodi Supriadi ( Indonesia).

Saudara Dodi Supriadi, dodi@ratelindo.co.id , pada tanggal 11 Mei 1999 telah menyampaikan pertanyaan yang menyangkut NII. Dimana pertanyaannya adalah, "Bapak Sudirman belum selesai mejawab pertanyaan saya mengenai Qanun Azasy NII yang menyangkut pengambilan suara, berdasarkan suara terbanyak yang tidak sama dengan Piagam Madinahnya Rosulullah, oleh karena itu saya mempertanyakan kembali apakah hal itu menyebabkan Pendirian Negara Islam Indonesia itu tidak syah secara de jure dan tidak syah pula dihadapan Allah SWT, padahal sudah jelas bahwa NII itu telah menjadikan Al-qur'an dan Sunnah sebagai hukum yang tertinggi. Jika bentuk perjuangan NII itu tidak syah, maka apakah Bapak Sudirman dapat memberikan alternatif perjuangan Islam lain yang haq menurut Allah dan mencontoh kepada risalah perjuangan Rosulullah?".

Baiklah saudara Dodi Supriadi.
Pendirian Negara Islam Indonesia (NII) oleh Almarhum Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 7 agustus 1949 / 12 Syawal 1368 di daerah Malangbong, Garut, Jawa Barat yang dikuasi oleh Kerajaan Belanda menurut perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 adalah syah baik secara de facto maupun de jure walaupun ada perbedaan Qanun Azasy NII dengan Undang Undang Madinah Daulah Islam Rasulullah dalam sistem kenegaraan dan cara pembuatan hukum.

Yang menjadi pokok persoalan adalah bukan syah tidaknya pendirian NII, melainkan yang menjadi persoalan adalah, apakah Qanun Azasy NII sudah sesuai dengan Undang Undang Madinah Daulah Islam Rasulullah atau belum?.

Kalau kita pelajari Qanun Azasy NII, maka dapatlah disimpulkan bahwa  NII mempunyai dasar dan hukum Islam, dimana hukum yang tertinggi adalah Qur'an dan Hadits sahih.NII bersifat republik dengan Majlis Syuro (Parlemen) sebagai lembaga tertinggi pembuat hukum melalui pengambilan keputusan dengan suara terbanyak dan menetapkan Qanun Azasy dan garis-garis besar haluan Negara.

Kemudian dilengkapi dengan Dewan Syuro sebagai Badan Pekerja daripada Majlis Syuro yang mempunjai tugas-kewadjiban menyelesaikan segala keputusan Majlis Syuro dan melakukan segala sesuatu sebagai wakil Majlis Syuro menghadapi Pemerintah, selainnya jang berkenaan dengan prinsip. Dimana tiap-tiap undang-undang menghendaki Persetujuan Dewan Syuro.

Kekuasaan Pemerintah Negara dipegang oleh Imam Negara Islam Indonesia menurut Qanun Azasy, sepanjang Hukum Islam. Imam dipilih oleh Majlis Syuro dengan suara paling sedikit 2/3 daripada seluruh anggauta kemudian menyatakan bai'at dihadapan Majlis Sjuro. Dalam tugasnya Imam dibantu oleh Dewan Imamah yang terdiri dari Imam dan Kepala-kepala Majlis. Dimana anggauta-anggauta Dewan diangkat dan dilberhentikan oleh Imam. juga dibantu oleh Dewan Fatwa yang terdiri dari seorang Mufti besar dan beberapa Mufti lainnya, sebanyak-banyaknja 7 orang. Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Imam dan berhak menunjukkan usul kepada Pemerintah. Angkatan dan pemberhentian anggauta-anggauta itu dilakukan oleh Imam. Dimana Imam memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan  Majlis Syuro dan menetapkan peraturan Pemerintah, setelah berunding dengan Dewan Imamah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya. Membentuk Badan Keuangan, Kehakiman dan pendidikan.

Setelah sedikit menelusuri Qanun Azasy NII diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa Qanun Azasy NII memiliki prinsip triaspolitika, tiga kekuasaan politik, yaitu kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang undang) dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili). Dimana kekuasaan legislatif adalah Majlis Syuro yang mempunyai kekuasaan tertinggi membuat hukum dengan mengambil suara terbanyak dan membuat garis-garis besar haluan negara. Kekuasaan eksekutif adalah Imam dan Dewan Imamah. Kemudian kekuasaan yudikatif adalah Dewan Fatwa.

Jadi kalau ditinjau dari sifat dan struktur negara sebenarnya antara NII dengan RI adalah sama, kedua-duanya bersifat negara republik, hanya dasar dan hukum negara yang berbeda, NII mempunyai dasar dan hukum Islam dengan Qur'an dan Hadits sahih sebagai hukum yang tertinggi, sedangkan negara RI mempunyai dasar pancasila yang sekaligus sebagai sumber hukum tertinggi.

Kesimpulan tentang NII adalah walaupun NII menjadikan Qur'an dan Hadits sahih sebagai hukum yang tertinggi, tetapi dalam hal menetapkan dan membuat hukum masih memakai sistem demokrasi barat yaitu melalui pengambilan suara terbanyak atau mayoritas. Jadi dalam hal menetapkan dan membuat hukum dalam Qanun Azasy NII harus diadakan perubahan, dari cara melalui pengambilan suara terbanyak kepada cara mendasarkan pada Al Qur'an dan Hadist. Apabila tidak dijumpai nas yang jelas, tetapi pada suatu masa telah ada kesepakatan (ijma) mujtahidin atas hukum-hukumnya, maka ijma mujtahidin yang dipakai. Jika tidak dijumpai nas yang jelas dan tidak dijumpai kesepakatan (ijma) mujtahidin, maka dilakukan ijtihad untuk mencari hukum dengan membandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadist-hadist yang umum serta menyesuaikan dan mempertimbangkan dengan perkara yang sedang dibicarakan kemudian diqiaskan dengan hukum yang sudah ada yang berdekatan dengan perkara yang sedang dibicarakan itu Apabila timbul jalan buntu dalam pembuatan dan penetapan peraturan, hukum dan undang undang diantara para ulil amri, maka Pimpinan Daulah Islam Rasulullah atau Khalifah di Khilafah Islam sebagai kepala pimpinan negara (yang harus ditaati) menentukan dan mengambil keputusan untuk menetapkan peraturan, hukum dan undang undang menurut ijtihadnya.

Sekarang kita lihat sedikit tentang sistem khilafah yaitu, suatu sistem Daulah Islam Rasulullah yang diwariskan kepada Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Usman bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib) (11 H-40 H, 632 M-661 M).

"Khilafah bukanlah monarkhi dan bukan pula sultan. Khilafah ialah pimpinan umum kenegaraan untuk rakyat buat membawa mereka kepada agama yang suci, menekan golongan yang kuat jangan sampai berbuat sewenang-wenang terhadap golongan yang lemah didalam tugas kewajibannya dalam negara, sedang terhadap keluar dia melindungi agama Islam dan menolak serangan dari luar, dan dia tidaklah dapat berdiri melainkan dengan kemauan rakyat". Inilah kesimpulan sistem khilafah yang ditulis oleh Amir Sjakib Arselan dalam bukunya Hadhirul 'Alamil Islami.

Ada tiga hal pokok dalam sistem khilafah, yaitu pertama menjadikan kalimah syahadah sebagai suatu penyaksian dan pengikatan diri kepada Allah dan Muhammad saw. Kedua, mengangkat pembantu Khalifah dalam menjalankan tugasnya, yaitu mengangkat Mu'awin (Wazir), Wali (Gubernur) dan Amil, Qadli (Hakim), Panglima Angkatan perang dan Pejabat bagian administrasi. Ketiga mengadakan musyawarah dengan ulil amri atau majelis syuro.
 
Khalifah mendapatkan kekuasaan umat karena khalifah dipilih oleh kaum muslimin secara keseluruhan, baik secara langsung atau melalui majelis syuro. Kaum muslimin menyerahkan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan kepada seorang yang mereka bai'at menjadi khalifah untuk mewakili mereka. Khulafaur Rasyidin memperoleh bai'at dari kaum muslimin untuk menjalankan kekuasaan menerapkan hukum-hukum Islam dalam Daulah Islam.

Khalifah tidak membuat hukum sendiri, melainkan khalifah dibai'at oleh kaum muslimin untuk melaksanakan hukum Allah yang terdapat dalam Al Qur'an dan Sunnah. Khalifah itu bisa berijtihad sendiri tentu saja bersumber kepada nash syara, Al Qur'an dan As Sunnah, serta dua sumber hukum yang ditunjukkan keduanya, yaitu Ijma mujtahidin dan Qiyas. Kaum muslimin harus taat kepada Khalifah, selama tidak diperintahkan berbuat maksiat. "Mendengarkan dan mentaati  penguasa tetap wajib atas seorang muslim dalam hal yang ia sukai atau ia benci, selagi tidak diperintahkan berbuat maksiat. Apabila dia berbuat maksiat, maka dia tidak boleh mendengarkan dan tidak boleh mentaatinya" (HR. Muslim).

Karena Khalifah adalah manusia biasa yang bisa melakukan kekeliruan dalam melaksanakan hukum Allah, maka hak kaum muslimin sekaligus kewajiban mereka sebagai rakyat yang mewakilkan kekuasaan melaksanakan hukum Allah SWT kepada khalifah untuk mengkritik dan mengkoreksi. "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung". (Ali Imran: 104).  "Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, hendaknya kalian benar-benar memerintahkan kepada yang ma'ruf serta mencegah dari perbuatan yang munkar, atau sampai Allah betul-betul akan akan memberikan siksa untuk kalian dari sisi-Nya, kemudian kalian dengan sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya, niscaya Dia tidak akan mengabulkan doa kalian" (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Inilah sedikit jawaban dari saya untuk saudara Dodi Supriadi.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se