Stockholm, 25 Agustus 1999

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

FANATISME AGAMA DALAM POLITIK.
Ahmad Sudirman
Modular Ink Technology Stockholm - SWEDIA.

 

Jawaban untuk saudara Robert Adolf.

Untuk pertama kalinya saudara Robert Adolf  yang tinggal di robert_adolf@yahoo.com mengirimkan surat dengan subject "Tidak Setuju Fanatisme Agama Dalam Politik" kepada saya pada tanggal 15 Agustus 1999.

Setelah saya membaca isi surat saudara Robert tersebut, maka lahirlah tulisan untuk hari ini yang diberi judul "Fanatisme agama dalam politik". Dimana dibawah ini saya lampirkan hasil buah pikiran saudara Robert secara lengkap.

Saudara Robert menulis :"Beberapa kali saya mengikuti tulisan Bung Ahmad, namun baru kali ini saya tergelitik untuk berdiskusi. Terakhir saya membaca tulisan anda yang berjudul "Muslim Dalam Belenggu Akbar dan Mega". Saya tidak ingin berdebat, tapi hanya ingin berdiskusi dengan mengemukakan beberapa pikiran saya. Artinya, dalam diskusi ini saya tetap terbuka terhadap setiap bantahan atau keberatan.

Bung Ahmad, saya bukan Muslim. Saya Nasrani. Namun dalam sikap politik, saya tidak pernah bercita-cita-cita atau memimpikan Indonesia menjadi negara Kristen. Saya pun juga tidak setuju jika orang-orang Kristen diberi tempat terlalu banyak dalam jajaran eksekutif. Berarti saya tidak membela agama saya dong... mungkin demikian. Artinya, dalam hal-hal tertentu saya tidak punya alasan untuk membela agama saya. Alasannya?

1. Saya tidak ingin jatuh dalam FANATISME yang berlebihan. Fanatisme saya artikan, keyakinan yang kuat terhadap kebenaran, idealisme, kepercayaan dan keyakinan yang saya anut. Fanatisme yang berlebihan dalam konteks agama adalah munculnya sikap yang menganggap bahwa agama atau keyakinan saya adalah yang paling benar. Sementara yang lain tidak. Ini sangat rawan. Sebab jika orang Kristen yang fanatik memimpin negara ini, bukan mustahil akan membiarkan atau "mengijinkan" mesjid-mesjid di bakar. Atau agama lain dilarang. Sebab yang benar itu hanyalah Kristen, sementara yang lain tidak. Jadi dalam konteks ini saya takut kalau yang memimpin negeri ini justru orang kristen yang fanatik.

2. Saya hanya ingin fanatik dalam agama jika itu hanya menyangkut IMAN. Bagaimana pun agama atau iman senantiasa terbuka pada penafsiran yang pasti ada unsur subyektifnya. Saya khawatir jika penafsiran subyektif diterapkan dalam berpolitik, yang terjadi adalah benturan-benturan. Akar dari fanatisme adalah penafsiran subyektif yang mendapat legitimasi atau dukungan. Dalam kehidupan sosial, saya tetap beranggapan bahwa Islam, Hindu, Budha, dll adalah agama yang baik, mempunyai nilai kebenaran yang harus dihormati.

3. Dalam berpolitik, saya lebih setuju agama ditempatkan sebagai landasan moral. Sebab saya takut kalau agama dijadikan panglima, pemikiran kita tidak lagi universial. Sebab dalam subyektivitas tersebut, pasti ada nilai-nilai universal yang berlaku. Dengan berlandasan moral tersebut, saya tidak mempersoalkan siapa yang salah. Terlalu awal jika saya ikutan berprasangka salah terhadap Pancasila, UUD'45, Akbar Tanjung, Megawati, dll. Bagi saya yang penting adalah bagaimana mewujudkan kehidupan politik yang bermoral. Terserah mau memakai dasar agama apa. Secara dogma, saya setuju kalau masing-masing agama berbeda. Tapi dalam konteks etis dan moral etis ada kebenaran-kebenaran universal dalam setiap agama. Misalnya, saya percaya agama Islam, Kristen, Budha, dll tidak setuju dengan tindakan kekerasan. Setiap agama mengajarkan kebaikan, kerukunan, dll. Karena itu saya lebih suka pemimpin negara ini bukan pemimpin yang beragama "x". Melainkan pemimpin yang bermoral agama "x".

4. Dalam pemahaman saya, politik adalah masalah kenegaraan dan memimpin negara. Ironisnya untuk memimpin negara butuh perjuangan, yaitu mengalahkan pesaingnya. Karena di Indonesia ini yang ingin menjadi pemimpin tidak hanya satu tapi banyak. Jika berlandasakan pada sikap yang fanatik, maka bukan mustahil merasa punya legitimasi dan kebenaran untuk melakukan "penindasan" terhadap yang tidak sesuai dengan sikap dan kemauannya.

Demikian tanggapan saya. Mudah-mudahan ada umpan baik dari Bung Ahmad, demi kualitas opini dan diskusi ini (Robert Adolf, 15 Agustus 1999).

Baiklah saudara Robert. Fanatisme artinya keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dsb) (Kamus besar bahasa Indonesia, DPDKRI, 1988). Keyakinan yang kuat terhadap agama yang dianutnya dan diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya itu adalah bukan hal yang negatif, melainkan hal yang baik dan positif. Itu tandanya orang tersebut betul-betul yaqin terhadap agamanya. Atau dengan istilah lain adalah fanatisme terhadap agama yang dianutnya dan diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya itu adalah bukan hal yang negatif, melainkan hal yang baik dan positif.

Nah, yang menjadi permasalahan adalah, apakah ada dalam ajaran agamanya itu konsepsi mengenai pembentukan umat, hak asasi manusia, menghormati agama lain, persatuan warganegara, golongan minoritas, tugas warganegara, perlindungan negara, pimpinan negara, politik perdamaian, hukum ekonomi dan perdagangan, hukum perang, hukum waris, hukum perkawinan, hukum pembunuhan, hukum pergaulan, hukum bernegara, hukum makanan disamping konsepsi masalah iman dan ibadah ?

Kalaulah ada konsepsi-konsepsi tersebut diatas, maka apa yang dikhawatirkan oleh saudara Robert "jika orang Kristen yang fanatik memimpin negara ini, bukan mustahil akan membiarkan atau "mengijinkan" mesjid-mesjid di bakar. Atau agama lain dilarang. Sebab yang benar itu hanyalah Kristen, sementara yang lain tidak. Jadi dalam konteks ini saya takut kalau yang memimpin negeri ini justru orang kristen yang fanatik".

Sekarang, menurut saya timbulnya hal-hal yang seperti saudara Robert sebutkan diatas adalah disebabkan karena tidak adanya konsepsi-konsepsi yang disebut diatas dengan segala sangsi hukumnya yang diatur dan dijelaskan dalam agama yang dianutnya. Sehingga lahirlah tindakan-tindakan negatif yang merusak dari para penganut agama yang fanatik tersebut.

Nah, kalau saya melihat, menganalisa, memikirkan apa yang ada dalam agama yang saya anut yaitu Islam, ternyata konsepsi-konsepsi tersebut diatas memang ada dan telah dicontohkan dan diterapkan oleh Muhammad SAW.

Selanjutnya, timbulnya penafsiran-penafsiran yang bersifat subyektif dari hal-hal yang ada dalam ajaran agama yang dianutnya, dikarenakan oleh tidak jelas dan tidak adanya dalam ajaran agama yang dianutnya itu keterangan, hukum, aturan-aturan yang jelas dan gamblang dari masalah yang ditafsirkannya itu. Contohnya masalah politik, artinya suatu masalah yang menyangkut segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara. Adakah masalah yang menyangkut urusan dan tindakan yang berhubungan dengan pemerintahan negara yang diterangkan dalam agama dan dicontohkan oleh Rasul ?. Apabila ada penjelasan dan contoh yang ditunjukkan oleh Rasul yang membawa ajaran agama mengenai masalah yang berhubungan dengan urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau urusan politik, maka tidaklah akan timbul penafsiran-penafsiran yang subyektif yang berakibat pecah dan hancurnya umat penganut agama tersebut.

Jadi kalau sudah ada contoh yang ditunjukkan Rasul dalam masalah yang berhubungan dengan urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau urusan politik, maka yang tinggal adalah bagaimana penerapan dan pelaksanaan dari apa yang telah dicontohkan Rasul tersebut.

Kalau saya melihat Islam agama yang saya anut, maka contoh Muhammad SAW mengenai masalah yang berhubungan dengan urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau urusan politik sudah ada. Yang tinggal adalah kesiapan dari umat Islam untuk membangun kembali Daulah dengan pemerintahan serta hukum-hukum Islamnya. Untuk mencapai usaha ini memerlukan keyakinan yang kuat terhadap Islam sebagai agama yang dianutnya.

Nah sekarang, selama ada pemikiran dan usaha untuk memisahkan agama dari masalah pemerintahan, politik dan negara, maka selama itu penerapan nilai-nilai moral yang bersumberkan dari agama dalam kehidupan bernegara dan berpolitik tidaklah akan berhasil. Yang ada justru menginjak-nginjak nilai-nilai moral karena memang tidak ada badan pelaksana dan badan peradilanhukum yang melaksanakan dan mengawasinya secara jelas dan benar. Apalagi kalau penguasanya adalah orang yang tidak beragama, sedangkan penguasa yang beragamapun masih melakukan tindakan-tindakan yang kalau dilihat dari moral etis yang umum dan moral agama sudah jauh menyimpang. Contohnya di Indonesia, Soekarno, Soeharto dan sekarang B.J. Habibie. Jadi untuk mewujudkan 'kehidupan politik yang bermoral' seperti yang dikatakan saudara Robert diatas, maka menurut saya agama yang menjadi sumber dari nilai-nilai moral tidak bisa dipisahkan dari negara.

Memang dalam masalah yang menyangkut segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau masalah politik ini, persoalan persaingan diantara para pelakunya tidak bisa dihindarkan. Hanya saja resiko atau akibat negatif dari persaingan politik harus dikurangi dan dihilangkan melalui penerapan dari kekuatan keyakinan terhadap agama yang dianutnya. Artinya segala konsepsi-konsepsi yang saya sebutkan diatas sudah ada, jelas dan diterapkan dengan ditunjang oleh badan pelaksana dan pengawas peradilan hukum yang adil.

Nah, kesimpulannya adalah keyakinan yang kuat terhadap agama yang dianutnya dan diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya itu adalah bukan hal yang negatif, melainkan hal yang baik dan positif. Itu tandanya orang tersebut betul-betul yaqin terhadap agamanya. Atau dengan istilah lain adalah fanatisme terhadap agama yang dianutnya dan diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya itu adalah bukan hal yang negatif, melainkan hal yang baik dan positif.

Menyatukan agama yang memiliki konsepsi mengenai pembentukan umat, hak asasi manusia, menghormati agama lain, persatuan warganegara, golongan minoritas, tugas warganegara, perlindungan negara, pimpinan negara, politik perdamaian, hukum ekonomi dan perdagangan, hukum perang, hukum waris, hukum perkawinan, hukum pembunuhan, hukum pergaulan, hukum bernegara, hukum makanan disamping konsepsi masalah iman dan ibadah adalah salah satu pemecahan untuk pembangunan umat dan negara.

Adanya usaha untuk memisahkan agama dari masalah pemerintahan, politik dan negara, maka usaha untuk penerapan nilai-nilai moral yang bersumberkan dari agama dalam kehidupan bernegara dan berpolitik tidak akan berhasil.

Inilah jawaban saya untuk saudara Robert Adolf.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se