Stockholm, 19 Nopember 1999
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.
KELEMAHAN MANUSIA DAN SISTEMNYA
Ahmad Sudirman
XaarJet Stockholm - SWEDIA.
Jawaban untuk saudara Mohammad Afdal Rezki, Pamilih@aol.com
TIDAK AKAN ADA MANUSIA SESEMPURNA RASULULLAH
M. AFDAL:
Yth Bapak Ahmad Sudirman, Pertama tama saya menyatakan kekaguman atas pengetahuan Anda
yang sangat mendalam mengenai agama Islam. Tetapi izinkanlah saya mengutarakan beberapa
pertanyaan.
Mengenai negara yang berdasarkan khilafah Islam: dengan telah wafatnya Rasulullah, apakah mungkin ada manusia biasa baik yang ada sekarang maupun yang akan lahir di masa mendatang yang dapat menyamai tingkat kesempurnaan Rasulullah? Seorang manusia biasa tidak mungkin luput dari kelemahan kelemahan manusiawi. Oleh karena itu bagaimana caranya agar dapat menemukan seorang manusia biasa yang dapat mendirikan dan menjalankan suatu negara Islam yang 100% sesuai dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah?
AHMAD:
Sampai dunia kiamatpun tidak akan ada manusia yang bisa menyamai kesempurnaan
Rasulullah. Masalahnya bukan ada tidaknya manusia yang bisa menyamai Rasulullah, melainkan
adakah manusia yang berusaha dengan kemampuannya mengangkat, menerapakan, melaksanakan dan
mengawasi hukum-hukum yang telah diturunkan Allah dan dicontohkan Rasul-Nya.
Sepeninggal Rasulullah, kaum muslimin mendapat dua pegangan, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul itulah yang akan menjadi pedoman dan petunjuk kaum muslimin dalam usaha membangun persatuan dengan berlandaskan kepada keadilan, amanah dan perdamaian dengan tujuan untuk beribadah, bertaqwa dan mencari ridha Allah swt.
Jadi selama manusia memegang keduanya, maka selama itu akan didapatkan manusia-manusia yang mampu dengan izin Allah swt untuk membina aqidah dengan menghormati agama lain dan menggalang ukhuwah Islam dalam rangka membangun satu ummah yang terdiri dari kaum muslim dan non muslim.
KELEMAHAN MANUSIA DAN SISTEMNYA
M. AFDAL:
Menurut pengamatan kami atas sejarah kekhalifahan tampaknya runtuhnya kejayaan negara
Islam adalah lebih diakibatkan kelemahan manusia dan sistemnya, bukan dari konsep
teologisnya Islam itu sendiri. Kami kira tidak salah jika kami berpendapat bahwa
Undang-undang Madinah tampaknya hanya dapat berjalan dibawah kepemimpinan Rasulullah
pribadi. Ini membuktikan kebesaran Rasulullah, tapi juga pada saat yang bersamaan
menunjukkan bahwa kelemahan manusia biasa selain Rasulullah yang pastinya tetap akan
menjadi kendala.
Disinilah inti perbedaan pendekatan Barat yang sangat khawatir atas kelemahan manusianya itu dan oleh karenanya upaya pertamanya ialah membatasi kekuasaan dan kewenangan manusianya melaui suatu sistem hukum. Apapun dalihnya, selama kelemahan manusianya tidak diidentifikasi dan diusahakan pembatasannya maka niscaya pemimpin masyarakatnya akan lebih mudah terjerumus semata-mata diakibatkan kelemahan manusia ini.
AHMAD:
Manusia memang bersifah lemah, salah dan tidak terlepas dari dosa. Karena itulah Allah
menurunkan petunjuk dan pembimbing melalui Rasul-Nya untuk disampaikan kepada ummat
manusia yang ingin sampai kepada Tuhannya.
Manusia, apakah itu dibawah Daulah Islam Rasulullah atau didalam Daulah Sekuler, selama itu namanya manusia, maka manusia tidak terlepas dari kesalahan dan kelemahan.
Nah, permasalahannya adalah bagaimana mengurangi dan membatasi kelemahan manusia itu? Sudah barang tentu tergantung dari mana kita melihat. Kalau melihat dari sudut pandang sekularisme yang menjadikan moral, etika, norma, aturan bukan berdasarkan nilai-nilai agama, maka hasil pemikiran manusia atau sekelompok manusia yang dianggap standar moral, etika, aturan. Dalam hubungan ketatanegaraan, menurut pandangan sekularisme usaha untuk membatasi kelemahan manusia adalah dengan dibaginya tugas manusia dalam bentuk tiga lembaga, legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sedangkan kalau melihat dari sudut pandang agama, maka hasil pemikiran manusia yang rekatif dan nisbi sifatnya tidak cukup tanpa ditunjang dan dibimbing oleh nilai-nilai yang datang dari Tuhan melalui Rasul-Nya, misalnya dari Islam adalah nilai, aturan, hukum yang telah terdapat dalam Al Quran dan Sunnah.
Adapun dalam hubungan dengan ketatanegaraan, menurut pandangan Daulah Islam Rasulullah tidak ada lembaga yang tugasnya sebagai pembuat dan mencipta undang-undang, yang ada adalah lembaga pengangkat, pelaksana dan pengawas undang undang. Karena itu dalam Islam tidak ada lembaga legislatif seperti dalam trias politika.
TIDAK ADA LEMBAGA LEGISLATIF DALAM DIR
M. AFDAL:
Contoh pembatasan kewenangan atas kekuasaan karena kekhawatiran atas kelemahan manusia
telah dirumuskan dan diterapkan lembaganya sebagai contoh singkat dalam Pemisahan
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif (Trias Politica). Bagaimana konsep dan
mekanismenya yang ekivalen, atau alternatifnya yang setara, menurut agama Islam? Siapa
yang telah menjalankannya selain Rasulullah dan bagaimana kinerja negara atau masyarakat
tersebut?
Sistem hukum yang tegas dan berwibawa dan berkembang sesuai rasa keadilan masyarakat relatif pada saat itu, tidak dogmatis dan absolut. Negara Islam manakah yang telah dapat membuktikan bahwa sistem hukumnya benar benar dapat ditegakkan dengan tanpa pandang bulu, transparan dan adil serta dapat dinilai secara komparatif dengan data?
AHMAD:
Satu hal yang mendasar yang menjadi dasar perbedaan antara sistem trias politika dengan
sistem DIR adalah dalam hal kedaulatan. Menurut sistem trias politika rakyat adalah yang
berdaulat sebagaimana ditekankan dalam sistem demokrasi.
Sedangkan dalam DIR kedaulatan ada ditangan Allah, artinya segala perkara dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah sebagai sumber hukum yang tertinggi yang telah diciptakan Allah swt dan diturunkan melalui Rasul-Nya.
Jadi yang ada dalam sistem pemerintahan DIR adalah Khalifah yang merupakan pemimpin eksekutif yang mempunyai tugas untuk mengangkat, menerapkan, melaksnakan undang-undang yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan Sunnah.
Badan Peradilan hukum Islam yang tugasnya memeriksa dan mengadili serta menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah setelah melalui proses pengadilan yang adil menurut apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Adapun lembaga majelis syura adalah merupakan badan musyawarah yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil rakyat yang mempunyai berbagai keakhlian dalam berbagai bidang dan mempunyai pengetahuan tentang Islam. Tugasnya anggota badan majelis syura ini adalah bukan membuat dan menetapkan undang-undang melalui suara mayoritas, melainkan memusyawarahkan permasalahan-permasalahan yang timbul dan yang akan timbul ditunjang dengan bagaimana untuk mengatasinya dan bagaimana untuk mengaturnya berdasarkan hukum-hukum yang dibolehkan menurut Islam.
Seandainya untuk menetapkan hukumnya dalam suatu masalah ternyata tidak ada dalam Al Quran dan Sunnah, maka diambil ijma atau kesepakatan para ulama dalam masalah tersebut yang ditunjang oleh dalil-dalil Quran dan Sunnah. Seandainya tidak ada dalam ijmanya, maka dilihat dari qiasnya. Apabila qiasnyapun tidak ada, maka dilakukan ijtihad. Nah, seandainya dalam hasil ijtihad ini timbul berbagai macam pemikiran hasil ijtihadnya, jalan keluarnya adalah Khalifah yang memutuskan ijtihad mana yang akan diterapkan di Daulah Islam Rasulullah. Jadi bukan mengadakan pemungutan suara, apabila timbul berbagai hasil ijtihad yang tidak mencapai kesepakatan musyawarah.
Nah sekarang, adakah negara yang mengatasnamakan "negara Islam" telah "membuktikan bahwa sistem hukumnya benar benar dapat ditegakkan dengan tanpa pandang bulu, transparan dan adil serta dapat dinilai secara komparatif dengan data?"
Jawabannya adalah, justru karena negara yang mayoritas penduduknya kaum muslimin tidak konsekwen dengan hukum-hukum Islamnya diterapkan dalam negaranya. Yang ada adalah hukum-hukum yang berlaku hasil pembahasan bersama dalam lembaga legislatif yang ditetapkan melalui pemungutan suara, bukan dirujukan secara penuh kepada Quran dan Sunnah. Dari mulai Mesir, Irak, Libya, Maroko, Tunisia, Aljazair, Syria, UAE, Saudir, Pakistan masih mengambil keputusan undang-undangnya melalui lembaga legislatif yang mempunyai fungsi membentuk undang undang, yang justru bertentangan dengan apa yang telah diajarkan Islam dengan kedaulatan ada ditangan Allah, artinya segala sesuatu bersumberkan dari Al Quran dan Sunnah.
Jadi, selama tetap tidak menerapkan sistem pemerintahan DIR secara menyeluruh yang mempunyai sumber hukum yang tertinggi Al Quran dan Sunnah didalam negara yang mengatasnamakan "negara Islam", maka selama itu pelaksanaan hukum yang benar benar dapat "ditegakkan dengan tanpa pandang bulu, transparan dan adil serta dapat dinilai secara komparatif dengan data" mengalami kepincangan-kepincangan.
KEADILAN MENURUT ISLAM DAN MENURUT KONSEP DEMOKRASI
M. AFDAL:
Di sini yang saya lihat perbedaan utama titik berangkatnya: masyarakat yang adil dapat
dicapai, menurut konsep Islam dengan berupaya mencapai kesempurnaan Illahi.
Sedangkan konsep demokrasi versi Barat hal tersebut dicapai dengan pengendalian kelemahan
manusia dan menjunjung tinggi hak asasi manusia melalui sistem hukum yang andal dan tegar.
Konsep kesempurnaan Illahi memang sangat mengena dalam argumentasi mencari kebenaran
tetapi masalahnya apakah selama kebenaran mutlak semata dapat berjalan dengan baik dalam
penerapannya di masyarakat sehari hari? Although the concept is right but would it work
well in practice?
AHMAD:
Disinilah yang telah dicontohkan Rasulullah, dimana dasar yang utama dalam membangun
ummat atau masyarakat adalah aqidah Islam. Dengan bekal aqidah inilah merupakan sumber
manusia yang akan mengisi, menjalankan dan mengawasi hukum, aturan, nilai, norma, kaedah
yang telah diturunkan Tuhan melalui Rasul-Nya.
Jadi, contoh Rasulullah adalah, pertama, membina aqidah Islam kaum muslimin. Kedua, membangun masyarakat dalam satu ikatan ukhuwah Islam. Ketiga melakukan hijrah setelah ada perintah untuk hijrah dari Allah. Keempat, mengadakan perjanjian pertahanan bersama dengan kelompk lain (kelompok Yahudi yang ada di Yatsrib). Kelima, membangun Daulah Islam Rasulullah dengan segala perangkatnya untuk menjadi pelindung masyarakat muslim dan non muslim dari gangguan dan ancaman kelompok lain yang memusuhi dan mendeklarasikan perang terhadap kaum muslimin dan Daulah Islam Rasulullah, dan sebagai tempat dan wadah untuk mengangkat, menerapkan, melaksanakan dan mengawasi hukum-hukum Allah. Keenam, jihad, yaitu mempertahankan aqidah Islam, kaum muslimin dan non muslim, hak milik rakyat DIR.
Karena itu masyarakat yang timbul di Daulah Islam Rasulullah adalah masyarakat yang sudah memperoleh pembinaan aqidah Islam selama lebih kurang 13 tahun di Mekah yang merupakan sumber manusia sebagai pengangkat, penerap, pelaksana dan pengawas hukum yang adil.
Jadi membangun kembali DIR, bukan hanya memproklamasikan berdirinya DIR saja, tanpa dipersiapkan rakyatnya yang akan mengisi, mengangkat, menjalankan dan mengawasi hukum-hukum Islam dengan aqidah Islam. Kalau itu yang terjadi, tidak ada bedanya dengan orang yang tukar baju saja. Bajunya lain, orangnya sama.
Sedangkan masyarakat yang adil yang bisa dicapai menurut "konsep demokrasi versi Barat hal tersebut dicapai dengan pengendalian kelemahan manusia dan menjunjung tinggi hak asasi manusia melalui sistem hukum yang andal dan tegar".
Nah, justru disinilah kelamahan hukum yang walaupun bisa "diandalkan dan tegar" namanya, tetapi justru nisbi dan relatif sifatnya, karena memang setiap hukum yang dibuat dan diciptakan oleh setiap negara, ternyata ada banyak kelainannya. Misalnya, dalam masalah bagaimana menghukum orang-orang yang melakukan tindakan kejahatan pembunuhan. Di Amerika, setiap yang melakukan pembunuhan dan ternyata terbukti kesalahannya, maka hukumannya adalah hukuman mati. Sedangkan, di sebagian negara lainnya, adalah hukumannya tidak sampai dengan hukum mati. Selanjutnya, dalam masalah kejahatan penjualan narkotika. Di Singapura, Thailand, Malaysia yang terbukti menjual, menyelundupkan dan memiliki narkotika, hukumannya digantung atau ditembak atau disuntik mati. Sedangkan di Swedia, paling lama dijatuhi hukuman lima tahun.
Jadi sebenarnya masyarakat yang adil yang bisa dicapai menurut "konsep demokrasi versi Barat hal tersebut dicapai dengan pengendalian kelemahan manusia dan menjunjung tinggi hak asasi manusia melalui sistem hukum yang andal dan tegar" adalah ternyata seperti fatamorgana. Karena setiap negara berbeda dalam menafsirkan keadilan, hak asasi manusia dan kejahatan pidana.
M. AFDAL:
Benarkah bahwa dalam agama Islam hanya dikenal konsep ummat Islam bukan negara Islam.
Pemimpin negara konsekuensinya tidak dikenal, tetapi yang ada ialah pemimpin ummat.
Bukankah ini yang menjadikan perbedaan mendasar terhadap konsep ketatanegaraan sekuler?
AHMAD:
Rasulullah telah mencontohkan bahwa untuk membangun satu masyarakat muslim dan non
muslim adalah perlu adanya lembaga kenegaraan untuk mengangkat, menerapakan, melaksanakan
dan mengawasi hukum-hukum. Hukum-hukum yang ada dalam Islam tidak bisa diterapkan dan
dilaksanakan dan diawasi pelaksanaannya tanpa adanya lembaga negera yang mendasarkan
konstitusinya kepada Al Quran dan Sunnah.
Jadi, tidak benar kalau ada yang mengatakan bahwa agama Islam hanya mengenal konsep ummat Islam dan pemimpin kenegaraan tidak dikenal, justru sebaliknya, yang diajarkan dan dicontohkan Rasulullah adalam membangun ummat dalam satu daulah yang pemimpinnya langsung dipegang oleh Rasulullah yang seterusnya dikembangkan dan diperluas oleh Khulafaur Rasyidin.
M. AFDAL:
Apa saja hak hak kewarganegaraan ummat Islam itu dan dimana keunggulannya terhadap
konsep kewarganegaraan sekuler ala Barat?
AHMAD:
Dalam menilai suatu konsep yang mempunyai dasar yang berlainan adalah akan sulit
dilakukan. Mengapa? Karena tidak mungkin konsepsi hak kewarganegaraan yang berdasarkan
sekularisme dibandingkan dengan hak kewarganegaraan berdasarkan Islam. Yang paling
bijaksana dalam menilai konsepsi hak-hak kewarganegaraan yang berbeda dasar dan sistem
yang dipakainya adalah bukan membandingkan keunggulannya, (karena memang berbeda antara
sistem sekularisme dengan sistem Islam), melainkan harus melihat dari masing-masing sudut
dan mengambil kesimpulan berdasarkan sudut pandang itu. Sebab kalau memberikan penilaian
dari satu sudut pandang saja, maka jelas dari pihak yang sebelahnya tidak akan menerima
pandangan dan kritikan dari pihak lainnya, begitu juga sebaliknya.
M. AFDAL:
Bagaimana posisi non-Muslim dalam kepemerintahan suatu negara Islam? Dapatkah
non-Muslim memperoleh peranan kepemimpinan dalam pemerintahan Islam seperti halnya seorang
Muslim dapat menjadi anggota parlemen di Inggris, misalnya? Ataukah non-Muslim di negara
Islam harus cukup puas dengan perlindungan keselamatan fisik dengan membayar sejenis pajak
khusus tetapi tanpa memiliki perwakilan yang setara dalam pemerintahan?
AHMAD:
Dalam majelis syura anggotanya terdiri dari berbagai utusan rakyat yang mempunyai
keakhlian dalam bidangnya masing-masing. Karena Majelis Syura adalah bukan lembaga pembuat
hukum, melainkan suatu lembaga musyawarah, maka anggotanya yang dari non muslim bisa masuk
didalamnya. Untuk membicarakan dan memusyawarahkan kepentingan dari golongan agamanya.
M. AFDAL:
Apakah Daulah Madinah menjabarkan rinci pengaturannya? Apakah kasus kasus hukum Islam
dan undang undangnya terkodifikasi dengan sistematis. Di negara Islam mana yang dapat kita
pelajari dan dapat kita contoh penerapan hukum Islamnya?
AHMAD:
Dalam Undang Undang Madinah telah diatur secara garis besarnya bagaimana untuk mengatur
dan menyelesaikan kehidupan masyarakat Daulah Islam Rasulullah. Karena selama Rasulullah
saw hidup sampai wafatnya, Al Quran terus diturunkan kepadanya, yang memuat berbagai
peraturan dan hukum, dari mulai hukum waris sampai hukum perang dan qishas. Dimana
hukum-hukum Islam telah banyak di tulis dalam buku-buku Fiqh Islam yang banyak dipelajari
oleh kaum muslimin di seluruh dunia.
Yang justru menjadi permasalahan sekarang adalah walaupun hukum-hukum Islam itu telah jelas dan banyak ditulis dalam buku-buku fiqh Islam, tetapi karena belum adanya Daulah Islam Rasulullah yang merupakan tempat dan sarana untuk mengangkat, menerapkan, menjalankan dan mengawasi hukum-hukum itu, maka hukum-hukum Islam yang sudah terkodifikasi dengan sistematis itu tidak bisa terlaksana.
KEPEMIMPINAN SEKULER TIDAK BERDASARKAN AGAMA KRISTEN PROTESTAN
M. AFDAL:
Mengapa Bapak Achmad tinggal menetap di suatu negara sekuler yang berdasarkan agama
Kristen Protestan? Apakah Bapak secara implisit telah setuju bahwa kemakmuran, keadilan
dan keterjaminan keamanan yang terbaik (baik bagi Muslim maupun non-Muslim) pada saat ini
di dunia adalah dibawah kepemimpinan sekuler yang berdasarkan agama Kristen
Protestan? Betul Bapak telah menyatakan bahwa lebih dari 3% penduduk di Swedia
beragama Islam dan mereka merasa aman, makmur dan bebas menjalankan ibadah Islam sebab hak
hak asasi manusia mereka dijamin secara tegar oleh hukum sekuler yang notabene tidak
berdasarkan hukum Islam. Ironis sekali bukan?
AHMAD:
Negara Swedia adalah negara sekuler. Agama Protestan tidak mempengaruhi jalannya
politik, pemerintahan dan kerajaan Swedia. Agama Protestan hidup diluar sistem
pemerintahan dan kerajaan Swedia. Gereja hanyalah tempat beribadah setiap hari minggu.
Tidak ada peraturan, hukum yang dibuat oleh Pemerintahan Swedia, sepengetahuan saya yang
dasarnya diambil dari hukum agama Protestan. Memang ada partai politik yang namanay partai
Kristen Demokrasi, tetapi program-programnya tidak ada bedanya dengan partai-partai
sekuler lainnya. Jadi, agama Protestan tidak dijadikan sebagai dasar pemerintahan Kerajaan
Swedia.
Kebebasan yang didapati oleh para penganut agama lain adalah bukan disebabkan oleh karena dasar agama Protestan, melainkan karena peraturan yang dibuat berdasarkan paham sekularisme yang tidak mendasarkan kepada nilai agama. Jadi silahkan mau menjalankan atau tidak menjalankan ajaran agamanya masing-masing, negara tidak ikut campur. Agama tidak bisa dicampurkan kedalam politik, pemerintahan dan negara.
Selama penganut agama tidak menerapkan nilai-nilai agamanya kedalam politik, pemerintahan dan negara, selama itu diperoleh kebebasan. Tetapi begitu menuntut supaya diberlakukan penerapan hukum agama, misalnya dibolehkan memakai tutup kepala bagi perempuan muslimah dalam suatu perusahaan atau dikantor, maka langsung keluar peraturan tata-tertib di perusahaan dan tata-tertib di kantor yang tidak membolehkan penerapan-penerapan nilai agama dalam kehidupan di kantor dan perusahaan.
PULANG KE INDONESIA
M. AFDAL:
Seandainya Bapak tidak setuju atas keunggulan sistem hukum sekuler, apakah Bapak tidak
merasa terpanggil kembali ke Indonesia untuk lebih banyak menyumbangkan tenaga dan pikiran
Bapak dalam mendirikan masyarakat yang sesuai dengan prinsip Daulah Madinah yang Bapak
junjung tinggi itu?
AHMAD:
Insya Allah kalau sudah waktunya dan dengan izin Allah, saya akan kembali ke tanah air,
bumi Allah.
PRINSIP MASYARAKAT PROTESTAN DITERAPKAN DALAM KEHIDUPAN TETAPI TIDAK DIJADIKAN SEMBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA
M. AFDAL:
Walaupun saya bukan Protestan, bagi saya telah terbukti bahwa prinsip masyarakat
Protestan seperti yang diterapkan antara lain di Amerika Serikat, Jerman, Belanda,
negara-negara Skandinavia selama ini berhasil mengungguli prestasi dan kinerja masyarakat
masyarakat yang berdasarkan agama lain dalam hampir semua bidang, seperti misalnya
kebebasan beragama, keterlidungan hak-hak asasi manusia, pemasyarakatan pendidikan dan
kesehatan secara merata, perkembangan seni dan budaya, kemajuan teknologi,
dll. Pada saat yang sama belum tampak bagi kami adanya negara Islam yang dapat
mendekatinya apalagi menyamainya dari segi kinerja dan prestasinya dari bidang bidang
tersebut. Dapatkah Bapak memberikan penjelasannya? Wassalam. (Mohammad Afdal Rezki,
18 Nopember 1999).
AHMAD:
Seperti yang telah saya jelaskan diatas, bahwa prinsip masyarakat Protestan yang ada di
Swedia tidak dijadikan dasar hukum. Yang ada adalah dasar hukum berdasarkan paham
sekularisme. Kalaulah benar ada dasar-dasar hukum yang diambil dari ajaran Protestan di
Swedia, maka sudah tampak cemerlang Agama Protestan di Swedia.
Justru yang nampak sekarang adalah kehidupan ajaran agama di Swedia tidak terlihat dalam kehidupan nyata. Umat Islam, yang hanya 3 % dari seluruh penduduk Swedia dan merupakan kelompok minoritas terus berusaha untuk membina aqidah Islam kepada diri sendiri, keluarga dan sesama muslim lainnya, walaupun setiap detik menghirup udara sekularisme dan menghadapi benteng orang-orang sekuler dengan kehidupan materinya, tetapi dengan tetap memohon petunjuk, bimbingan dan hidayah Allah, kaum muslim yang hidup dinegara-negara sekuler akan berhasil, Insya Allah.
Inilah sedikit jawaban untuk saudara Mohammad Afdal Rezki, Pamilih@aol.com
Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*
Wassalam.
Ahmad Sudirman
http://www.dataphone.se/~ahmad
ahmad@dataphone.se